Cari Blog Ini

Selasa, 28 Februari 2017

Persepsi Masyarakat Terhadap Garis Lurus Gunung Merapi, Tugu, Kraton Yogya, Panggung Krapyak, Dan Pantai Parangkusumo




Persepsi Masyarakat Terhadap Garis Lurus Gunung Merapi, Tugu, Kraton Yogya, Panggung Krapyak, Dan Pantai Parangkusumo

Pandangan masyarakat terhadap mitos kerjasama antara pihak Kraton, pihak penguasa merapi dan pihak penguasa laut selatan masih ada hingga sekarang. Memang walaupun kepercayaan itu turun temurun dari nenek moyang ke anak cucu, akan tetapi sampai sekarang kepercayaan itu masih ada hingga sekarang. Menurut kepercayaan masyarakat memang ada kaitan letak kraton Yogyakarta yang segaris lurus dengan gunung Merapi, tugu pal putih, panggung Krapyak dan laut selatan.
Seperti yang diketahui masyarakat, bahwa sungai-sungai yang ada di Yogja itu dianggap sebagai jalan tol bagi penguasa laut selatan menuju Kraton Yogya dan Gunung Merapi. Masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar sungai Progo mengaku sering mendengar suara gamelan pada malam hari. Yang itu mereka yakini bahwa suara gamelan itu berasal dari sungai Progo. Akan tetapi bagi mereka yang merasa penasaran dan berjalan menuju sngai Progo, anehnya suara malah semakin menghilang, akan tetapi jika ia berjalan menjauhi sungai progo, suara gamelan itu semakin keras lagi.
Seperti yang ditulis oleh seorang warga desa Banaran, pinggir sungai Progo bahwa hampir setiap malam terdengar suara gamelan di sungai Progo dan dulu di malam - malam tertentu sering terdengar suara kemrosok dari arah sungai bersamaan dengan angin yang lumayan kencang, dari arah sungai terdengar suara klinting - klinting ... krincing - krincing. Suara tersebut menurut penuturan orang - orang dulu itu adalah suara kereta kencana kanjeng Ratu Kidul yang lewat menuju/dari gunung Merapi. Sebenarnya suara itu telah ada sejak beberapa puluh tahun yang lalu. Ada salah seorang warga yang merasa penasaran dan melakukan observasi di Sungai Progo sepanjang sungai dekat dusun Jati sampai suangan di Trisik turut dari tanggul sungai Jati deket kuburan Jati yang di pinggir sungai itu, kemudian duduk menghadap arah timur, arah sungai. Mencoba merasakan jika ada aktivitas gaib, akhirnya selang beberapa menit sekitar jam 11 lebih, terdengar suara orang mengobrol. Semakin didengarkan suara itu semakin jelas dan semakin ramai seperti orang sedang mengobrol di pasar, tetapi itupun tidak terlalu jelas apa yang mereka bicarakan, hanya terdengar gaduh. Dari situ dirasakan jika di sungai Progo ini memang ada makhluk ghaib. Dan hasilnya sungguh mengejutkan dengan apa yang ditemukan di sana. Saat matanya ditutup dan setelah dibuka melihat pemandangan yang sungguh luar biasa hebatnya. Ternyata Sungai Progo itu jalan lebar aspal halus, dan di pinggir jalan itu banyak rumah pemukiman, (sungai Progo dekat dusun Jati arah keselatan) ada rumah sangat besar, bertingkat dan bagus yang lampunya sangatlah terang. Banyak orang berlalu lalang di jalan yang tak terlihat itu. Suasananya seperti kota, sama persis jalan di dalam kota. Para makhluk ghoib itu melihatnya, akan tetapi tidak berkata sepatah katapun kepadanya, banyak rumah dan ada juga pasar, warung, ada jalan gang kecil salah satunya yang ada di dekat rumahnya yang dekat dengan kuburan Bunder, gang kecil ke selatan tembus jalan besar yang ke Sungai Progo. Di jalan itu ada yang bersepeda, naik andong, berjalan, tetapi tidak ada yang berkendaraan bermotor. Begitulah kisah perjalanan ghaibnya.  
Sedangkan menurut Nelly Murni Roossadha, dari Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia, dalam makalahnya berjudul Merapi: Gejala Alam, Sistem Tanda, dan Interaksi Sosial,  gunung tersebut menduduki posisi penting dalam mitologi Jawa. Diyakini sebagai pusat kerajaan mahluk halus, sebagai ‘swarga pangrantunan’, tempat di alam baka untuk menunggu giliran para roh yang meninggal dipanggil ke surga. Gunung Merapi selain  merupakan sebuah fenomena alam, yang dapat dijelaskan oleh para ilmuwan vulkanologi,  dengan segala perangkat canggihnya, juga merupakan simbol kekuatan magis yang melingkupi Yogyakarta.
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Pantai Parang Kusumo di Laut Selatan, dan juga Gunung Merapi berada dalam satu garis lurus yang dihubungkan oleh Tugu Jogja di tengahnya. Pengamatan citra satelit memang memperlihatkan lokasi-lokasi tersebut, berikut jalan yang menghubungkannya, hampir terletak segaris dan hanya meleset beberapa derajat. Keberadaan garis imajiner tersebut dibenarkan oleh mantan Guru Besar Filsafat Universitas Gadjah Mada Profesor Damarjati Supadjar. "Garis imajiner itu sudah menjadi wacana lama,"
Penguasa Merapi sendiri mempunyai nama: Panembahan Eyang Prabu Sapujagad. Konon, dulunya seorang abdi dalem keraton. Karena memakan endoging jagad (telor dunia), ia lantas berubah jadi raksasa dan atas perintah Panembahan Senopati menetap di Merapi. Untuk mengurusi Merapi, Keraton Yogyakarta pun menciptakan juru kunci, yang saat ini di pegang oleh Mbah Maridjan, ingatan yang cukup segar yang terjadi pada tahun 2006 ketika itu Merapi mengalami kritis yang luar biasa lalu sultan selaku gubernur memerintahkan Mbah Maridjan untuk turun bersama masyarakat yang ada, namun anehnya beliau tidak mau dengan alasan perintah itu tidak atas nama Raja Keraton Yogyakarta akan tetapi perintah itu atas nama kepala daerah (Gubernur). 
Hal senada juga dilakukan oleh Prof. Darmajati Supandjar (Guru Besar Filsafat UGM dan salah satu penasehat spiritual keraton Yogyakarta), beliau mempunyai pendirian bahwa saya akan hormat kepada sultan atas nama raja bukan kepala daerah. Ditilik dari sudut pandang politis sebetulnya ini merupakan cara sultan untuk menghegemoni masyarakatnya untuk melanggengkan dominasi kekuasaan Keraton Yogyakarta.Gunung Merapi terletak di perbatasan DIY dan Jawa Tengah, yang juga sebagai batas utara Yogyakarta. Disinilah garis lurus itu dimulai. Membujur ke arah selatan, terdapat Tugu Yogya.
Tugu berada di tengah perempatan  Jl. Mangkubumi, Jl, Diponegoro, Jl. AM. Sangaji dan Jl. Jend. Sudirman.  Tugu ini dibangun pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I atau tepatnya satu tahun setelah berdiri keraton Yogyakarta. Keberadaan tugu ini merupakan patokan arah Sultan dalam melakukan meditasi yang menghadap ke Gunung Merapi. Tugu menjadi simbol 'manunggaling kawulo gusti' yang juga berarti bersatunya antara raja (golong) dan rakyat (gilig). Hal ini tidak kebetulan namun keberadaan tugu ini dibangun untuk membangkitkan semangat persatuan dalam melawan penjajah pada masa itu.Simbol ini juga dapat dilihat dari segi mistis yaitu persatuan antara khalik (Sang Pencipta) dan makhluk (ciptaan).
Garis selanjutnya mengarah ke Keraton. Keraton Yogyakarta (bukan “Jogjakarta” karena dalam ejaan dan makna sangat salah kaprah, yogya berarti pantas atau baik dan karta berarti sejahtera) yang berdiri pada berdiri pada tahun 1755 pada awalnya merupakan pecahan di bumi mataram antara Kesusnanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta yang ditandai dengan perjanjian Giyanti pada abad 17 M, inilah embrio keraton Yogyakarta yang dibangun pertama kali oleh Sultan Agung pertama pada abad ke 15 M yang sekaligus masih memiliki keturunan dari kesultanan Demak, Pajang, Majapahit, dan Singosari. Di depan Kraton terdapat halaman yang lapang, atau yang lazim dikenal sebagai alun – alun. Alun – alun utara memiliki banyak fungsi, pada saat hari-hari biasa, sebagai tempat olahraga, areal parkir, ataupun sebagai tempat untuk berjualan. Pada saat tertentu, lokasi ini berfungsi sebagai tempat untuk merayakan berbagai macam perayaan seperti gunungan serta sekaten (pasar malam).
Kemudian lurus ke selatan terdapat Panggung Krapyak.  Gedhong Panggung, demikian bangunan itu kini disebut,  merupakan podium batu bata setinggi 4 meter, lebar 5 meter, dan panjang 6 meter. Tebal dindingnya mencapai 1 meter.  Bangunan di sebelah selatan Keraton ini menjadi batas selatan kota tua Yogyakarta.
Titik terakhir dari garis imajiner itu adalah Pantai Parang Kusumo, di Laut Selatan dengan mitos Nyi Roro Kidul-nya. Di malam Jumat Kliwon, pantai sangat ramai seperti pasar malam. Ratusan orang peziarah, puluhan pedagang kaki lima, puluhan pekerja seks komersial, serta semerbak bau dupa hilir-mudi. Parangkusumo, bagi banyak orang-entah itu asli Jogja atau luar kota, punya "kekuatan". Di situs utamanya yang kerap diziarahi, terdapat dua buah batu. Satu besar menurut legenda ditempati oleh Panembahan Senopati dan satunya yang kecil di tempati oleh Ratu Kidul, Sebenarnya, kesan yang muncul dari mitos ini, adanya penyatuan dua keraton; keraton manusia dan keraton ghaib. Dari sinilah hegemoni Senopati atas rakyatnya dimulai. Atau meminjam asumsi Gramschi, ketika belum terbentuk kesadaran kritis individu (a concrete individual), individu-individu dengan mudah masuk dalam perangkap kekuasaan negara. Seperti Merapi, pada titik ini juga ada juru kuncinya, yaitu RP Suraksotarwono. Nuansa sakral sangat terasa jika memasuki kompleks Parangkusumo, wewangian kembang setaman dan juga wangi kemenyan langsung menyapa siapapun yang datang. Hal tersebut disebabkan karena pantai ini dianggap sebagai pintu gerbang menuju kerajaan penguasa laut selatan.
Daerah-daerah yang dilintasi garis lurus imajiner itu hanya 'kebetulan' saja terlintasi garis. Tetapi yang sesungguhnya memiliki arti adalah titik di masing-masing ujung imajiner, Merapi dan Laut Selatan. Dua lokasi itu memiliki arti yang sangat penting bagi Keraton yang dibangun berdasarkan pertimbangan keseimbangan dan keharmonisan. Keraton merupakan titik imbang dari api dan air. Api dilambangkan oleh Gunung Merapi, sedangkan air dilambangkan pada titik paling selatan, Pantai Parang Kusumo. Dan keraton berada di titik tengahnya. Keraton dan dua daerah itu merupakan titik keseimbangan antara vertikal dan horizontal. Keseimbangan horizontal dilambangkan oleh Laut Selatan yang mencerminkan hubungan manusia dengan manusia. Sedangkan Gunung Merapi melambangkan sisi horizontal yang mencerminkan hubungan antara manusia dengan Yang Maha Kuasa.
Filosofi garis lurus imajiner dari Merapi hingga Laut  Selatan ini sarat kearifan lokal. Damarjati menyarankan pemimpin di negeri ini harus peka terhadap peristiwa letusan Merapi yang menewaskan sang juru kunci. Menurut dia,  magma dalam gunung Merapi itu tidak boleh tersumbat untuk memuntahkan laharnya. Karena kalau tersumbat, dan terlambat, maka akan mengakibatkan letusan yang luar biasa. "Seperti kalau suara rakyat tersumbat, maka akan terjadi revolusi sosial.” 
Selain dominasi yang dibalut dengan apiknya kesultanan memiliki banyak falsafah hidup serta nilai-niali luhur seperti halnya  keraton di daerah lain di Indonesia, adalah ibarat mata-air yang tak pernah kering bagi kehidupan di sekitarnya. Namun di satu sisi, institusi kekuasaan dan kebudayaan yang sarat dengan nilai-nilai luhur yang menjadi panutan masyarakat itu, kini semakin terkikis modernisasi. seperti hubungan merapi-keraton dan laut selatan, Ratu Kidul (kenyataan atau hanya sebuah legenda yang hidup dalam masyarakat Yogyakarta), Malam 1 Suro dengan melarung bunga (sesaji) di pantai parangkusumo, serat Centhini atau serat Centhini latin  (yang melegenda dan agung) yang dimiliki oleh kahazanah sastra keraton.
Keraton Yogyakarta Hadiningrat dan masyarakatnya memiliki hubungan yang sangat erat, keraton sebagai pihak yang dominan untuk membentuk sebuah budaya secara turun temurun dan dilakukan oleh rakyat atau masyarakatnya memiliki sisi ketergantungan diantara keduanya. seperti keterangan di atas masyarakat pada prinsipnya memiliki pola-pola kehidupan yang ketat, yang selalu dijaga dalam komunitasnya serta bersifat setagnan, akan tetapi masyarakat disisi lain bisa mengalami perubahan jika bersentuhan dengan budaya khususnya dalam hal ini yang dibawa oleh keraton.
Keyakinan masyarakat atas cerita yang melegenda dari kekuatan Parangkusumo dan Gunung Merapi, berbuah pada kepercayaan yaitu jika berdoa di kedua tempat ini terutama Parangkusumo, niscaya permintaan bakalan terkabul. Hal senada juga pernah diungkapkan jauh-jauh waktu oleh Max Weber ahli (sosiologi masyarakat), ia mengatakan semua jalan magis atau mistagogis pertama kali digunakan untuk sebagai sepirit demi mengejar sesuatu yang ingin dicapai seperti ingin kaya, ingin pekerjaannya langgeng, jodoh dan sampai ingin memiliki umur panjang.
Pergeseran ini menjadikan fungsi ritual melebar (atau kesakralan tempat lambat laun tidak hanya menjadi tempat pemujaan akan tetapi unsur ekonomi meliputinya pula). Ia tak terikat erat lagi pada ritual sakral yang berbasis spiritual, politik, dan kekuasaan. Tapi sebaliknya, ia jadi benda yang diperjualbelikan, dan terasing dari aura ritual itu sendiri. Seperti yang telah terpaparkan dalam awal tulisan ini, acara ritual di Parangkusumo telah kehilangan dimensi spiritualnya atau terreduksi, Sebab, keheningan yang jadi inspirasi orang jawa (khususnya) dalam semedi telah tercemari gelegak suara dangdut dari penjual vcd, teriakan penjual obat, hingga lirikan genit para pekerja seks komersil (PSK). Namun, sifat komoditas ini, tetaplah sama. Meminjam Marx, komoditas tetap mengandung fetisisme, yaitu pemujaan nilai gaib dari suatu benda yang bersifat ekonomis atau dalam bahasa Bryan, dalam memahami sosial agama atau keyakinan dalam masyarakat agama atau keyakinan akan berubah sebagai perekat sosial dalam bentuk persaingan ekonomi.
Itulah sekilas pandangan masyarakat daerah penulis yang berkaitan tentang kerjasama penguasa gunung Merapi, Tugu pal putih, Keraton, Panggung Krapyak dan penguasa Laut Selatan. Akan tetapi suara-suara gamelan yang berasal dari Sungai Progo pada malam hari sudah tidak pernah terdengar beberapa tahun terakhir. Entah apakah sudah ada yang berubah tentang kerjasama ketiga penguasa itu. Akan tetapi masyarakat tetap masih ada yang mempercayai, bahwa bulan Syura merupakan bulannya milik ketiga penguasa, sehingga masyarakat jarang yang berani membuat hajatan pada bulan ini. Begitulah pandangan masyarakat sekitar.

DAFTAR PUSTAKA
Yogyakarta.panduanwisata.id/daerah-istimewa-yogyakarta/kota-yogyakarta/garis-lurus-merapi-tugu-kraton-dan-pantai-selatan/. Diakses pada 21 Desember 2016 pukul 15.55
M.news.viva.co.id/news/read/185790-antara-keraton-dan-merapi. Diakses pada 21 Desember 2016 pukul 16.00
Hartono-hartonogs.blogspot.co.id/2012/10/relasi-masyarakat-dan-keraton_16.html?m=1. Diakses pada 21 Desember 2016 pukul 15.50




Tidak ada komentar:

Posting Komentar