Persepsi
Masyarakat Terhadap Garis Lurus Gunung Merapi, Tugu, Kraton Yogya, Panggung
Krapyak, Dan Pantai Parangkusumo
Pandangan masyarakat terhadap mitos kerjasama antara pihak
Kraton, pihak penguasa merapi dan pihak penguasa laut selatan masih ada hingga
sekarang. Memang walaupun kepercayaan itu turun temurun dari nenek moyang ke
anak cucu, akan tetapi sampai sekarang kepercayaan itu masih ada hingga
sekarang. Menurut kepercayaan masyarakat memang ada kaitan letak kraton
Yogyakarta yang segaris lurus dengan gunung Merapi, tugu pal putih, panggung
Krapyak dan laut selatan.
Seperti yang diketahui masyarakat, bahwa sungai-sungai yang
ada di Yogja itu dianggap sebagai jalan tol bagi penguasa laut selatan menuju
Kraton Yogya dan Gunung Merapi. Masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar
sungai Progo mengaku sering mendengar suara gamelan pada malam hari. Yang itu
mereka yakini bahwa suara gamelan itu berasal dari sungai Progo. Akan tetapi
bagi mereka yang merasa penasaran dan berjalan menuju sngai Progo, anehnya
suara malah semakin menghilang, akan tetapi jika ia berjalan menjauhi sungai
progo, suara gamelan itu semakin keras lagi.
Seperti yang ditulis oleh seorang warga desa Banaran,
pinggir sungai Progo bahwa hampir setiap malam terdengar suara gamelan di
sungai Progo dan dulu di malam - malam tertentu sering terdengar suara kemrosok
dari arah sungai bersamaan dengan angin yang lumayan kencang, dari arah sungai
terdengar suara klinting - klinting ... krincing - krincing. Suara tersebut
menurut penuturan orang - orang dulu itu adalah suara kereta kencana kanjeng
Ratu Kidul yang lewat menuju/dari gunung Merapi. Sebenarnya suara itu telah ada
sejak beberapa puluh tahun yang lalu. Ada salah seorang warga yang merasa
penasaran dan melakukan observasi di Sungai Progo sepanjang sungai dekat dusun Jati
sampai suangan di Trisik turut dari tanggul sungai Jati deket kuburan Jati yang
di pinggir sungai itu, kemudian duduk menghadap arah timur, arah sungai.
Mencoba merasakan jika ada aktivitas gaib, akhirnya selang beberapa menit sekitar
jam 11 lebih, terdengar suara orang mengobrol. Semakin didengarkan suara itu
semakin jelas dan semakin ramai seperti orang sedang mengobrol di pasar, tetapi
itupun tidak terlalu jelas apa yang mereka bicarakan, hanya terdengar gaduh. Dari
situ dirasakan jika di sungai Progo ini memang ada makhluk ghaib. Dan hasilnya
sungguh mengejutkan dengan apa yang ditemukan di sana. Saat matanya ditutup dan
setelah dibuka melihat pemandangan yang sungguh luar biasa hebatnya. Ternyata Sungai
Progo itu jalan lebar aspal halus, dan di pinggir jalan itu banyak rumah
pemukiman, (sungai Progo dekat dusun Jati arah keselatan) ada rumah sangat
besar, bertingkat dan bagus yang lampunya sangatlah terang. Banyak orang berlalu
lalang di jalan yang tak terlihat itu. Suasananya seperti kota, sama persis
jalan di dalam kota. Para makhluk ghoib itu melihatnya, akan tetapi tidak
berkata sepatah katapun kepadanya, banyak rumah dan ada juga pasar, warung, ada
jalan gang kecil salah satunya yang ada di dekat rumahnya yang dekat dengan kuburan
Bunder, gang kecil ke selatan tembus jalan besar yang ke Sungai Progo. Di jalan
itu ada yang bersepeda, naik andong, berjalan, tetapi tidak ada yang berkendaraan
bermotor. Begitulah kisah perjalanan ghaibnya.
Sedangkan menurut
Nelly Murni Roossadha, dari Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik, Universitas Indonesia, dalam makalahnya berjudul Merapi: Gejala Alam,
Sistem Tanda, dan Interaksi Sosial,
gunung tersebut menduduki posisi penting dalam mitologi Jawa. Diyakini
sebagai pusat kerajaan mahluk halus, sebagai ‘swarga pangrantunan’, tempat di alam baka untuk menunggu giliran
para roh yang meninggal dipanggil ke surga. Gunung
Merapi
selain merupakan sebuah fenomena alam, yang dapat
dijelaskan oleh para ilmuwan vulkanologi,
dengan segala perangkat canggihnya, juga merupakan simbol kekuatan magis
yang melingkupi Yogyakarta.
Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat, Pantai Parang Kusumo di Laut Selatan, dan juga Gunung Merapi
berada dalam satu garis lurus yang dihubungkan oleh Tugu Jogja di tengahnya.
Pengamatan
citra satelit memang memperlihatkan lokasi-lokasi tersebut, berikut jalan yang
menghubungkannya, hampir terletak segaris dan hanya meleset beberapa derajat.
Keberadaan
garis imajiner tersebut dibenarkan oleh mantan Guru Besar Filsafat Universitas
Gadjah Mada Profesor Damarjati Supadjar. "Garis imajiner itu sudah menjadi
wacana lama,"
Penguasa Merapi sendiri
mempunyai nama: Panembahan Eyang Prabu Sapujagad. Konon, dulunya seorang abdi
dalem keraton. Karena memakan endoging jagad (telor dunia), ia lantas berubah
jadi raksasa dan atas perintah Panembahan Senopati menetap di Merapi. Untuk
mengurusi Merapi, Keraton Yogyakarta pun menciptakan juru kunci, yang saat ini
di pegang oleh Mbah Maridjan, ingatan yang cukup segar yang terjadi pada tahun
2006 ketika itu Merapi mengalami kritis yang luar biasa lalu sultan selaku
gubernur memerintahkan Mbah Maridjan untuk turun bersama masyarakat yang ada,
namun anehnya beliau tidak mau dengan alasan perintah itu tidak atas nama Raja
Keraton Yogyakarta akan tetapi perintah itu atas nama kepala daerah
(Gubernur).
Hal senada juga dilakukan oleh
Prof. Darmajati Supandjar (Guru Besar Filsafat UGM dan salah satu penasehat
spiritual keraton Yogyakarta), beliau mempunyai pendirian bahwa saya akan
hormat kepada sultan atas nama raja bukan kepala daerah. Ditilik dari sudut
pandang politis sebetulnya ini merupakan cara sultan untuk menghegemoni
masyarakatnya untuk melanggengkan dominasi kekuasaan Keraton Yogyakarta.Gunung
Merapi terletak di perbatasan DIY dan Jawa Tengah, yang juga sebagai batas utara
Yogyakarta. Disinilah garis lurus itu dimulai. Membujur ke arah selatan,
terdapat Tugu Yogya.
Tugu berada di tengah
perempatan Jl. Mangkubumi, Jl,
Diponegoro, Jl. AM. Sangaji dan Jl. Jend. Sudirman. Tugu ini dibangun pada masa pemerintahan Sri
Sultan Hamengku Buwono I atau tepatnya satu tahun setelah berdiri keraton
Yogyakarta. Keberadaan tugu ini merupakan patokan arah Sultan dalam melakukan
meditasi yang menghadap ke Gunung Merapi. Tugu menjadi simbol 'manunggaling kawulo gusti' yang juga
berarti bersatunya antara raja (golong) dan rakyat (gilig). Hal ini tidak
kebetulan namun keberadaan tugu ini dibangun untuk membangkitkan semangat
persatuan dalam melawan penjajah pada masa itu.Simbol ini juga dapat dilihat
dari segi mistis yaitu persatuan antara khalik (Sang Pencipta) dan makhluk
(ciptaan).
Garis selanjutnya mengarah ke
Keraton. Keraton Yogyakarta (bukan “Jogjakarta” karena dalam ejaan dan makna
sangat salah kaprah, yogya berarti pantas atau baik dan karta berarti
sejahtera) yang berdiri pada berdiri pada tahun 1755 pada awalnya merupakan
pecahan di bumi mataram antara Kesusnanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta
yang ditandai dengan perjanjian Giyanti pada abad 17 M, inilah embrio keraton
Yogyakarta yang dibangun pertama kali oleh Sultan Agung pertama pada abad ke 15
M yang sekaligus masih memiliki keturunan dari kesultanan Demak, Pajang, Majapahit,
dan Singosari. Di depan Kraton terdapat halaman yang
lapang, atau yang lazim dikenal sebagai alun – alun. Alun – alun utara memiliki
banyak fungsi, pada saat hari-hari biasa, sebagai tempat olahraga, areal
parkir, ataupun sebagai tempat untuk berjualan. Pada saat tertentu, lokasi ini
berfungsi sebagai tempat untuk merayakan berbagai macam perayaan seperti gunungan
serta sekaten (pasar malam).
Kemudian lurus ke selatan
terdapat Panggung Krapyak. Gedhong
Panggung, demikian bangunan itu kini disebut,
merupakan podium batu bata setinggi 4 meter, lebar 5 meter, dan panjang
6 meter. Tebal dindingnya mencapai 1 meter.
Bangunan di sebelah selatan Keraton ini menjadi batas selatan kota tua
Yogyakarta.
Titik terakhir dari garis
imajiner itu adalah Pantai Parang Kusumo, di Laut Selatan dengan mitos Nyi Roro
Kidul-nya. Di malam Jumat Kliwon, pantai
sangat ramai seperti pasar malam. Ratusan orang peziarah, puluhan
pedagang kaki lima, puluhan pekerja seks komersial, serta semerbak bau dupa
hilir-mudi. Parangkusumo, bagi banyak orang-entah itu asli Jogja atau luar
kota, punya "kekuatan". Di situs utamanya yang kerap diziarahi,
terdapat dua buah batu. Satu besar menurut legenda ditempati oleh Panembahan
Senopati dan satunya yang kecil di tempati oleh Ratu Kidul, Sebenarnya, kesan
yang muncul dari mitos ini, adanya penyatuan dua keraton; keraton manusia dan
keraton ghaib. Dari sinilah hegemoni Senopati atas rakyatnya dimulai. Atau
meminjam asumsi Gramschi, ketika belum terbentuk kesadaran kritis individu (a concrete individual),
individu-individu dengan mudah masuk dalam perangkap kekuasaan negara. Seperti
Merapi, pada titik ini juga ada juru kuncinya, yaitu RP Suraksotarwono. Nuansa
sakral sangat terasa jika memasuki kompleks Parangkusumo, wewangian kembang
setaman dan juga wangi kemenyan langsung menyapa siapapun yang datang. Hal
tersebut disebabkan karena pantai ini dianggap sebagai pintu gerbang menuju
kerajaan penguasa laut selatan.
Daerah-daerah
yang dilintasi garis lurus imajiner itu hanya 'kebetulan' saja terlintasi
garis. Tetapi yang sesungguhnya memiliki arti adalah titik di masing-masing
ujung imajiner, Merapi dan Laut Selatan. Dua
lokasi itu memiliki arti yang sangat penting bagi Keraton yang dibangun
berdasarkan pertimbangan keseimbangan dan keharmonisan. Keraton merupakan titik
imbang dari api dan air. Api dilambangkan oleh Gunung Merapi, sedangkan air
dilambangkan pada titik paling selatan, Pantai Parang Kusumo. Dan keraton
berada di titik tengahnya. Keraton dan dua daerah itu
merupakan titik keseimbangan antara vertikal dan horizontal. Keseimbangan
horizontal dilambangkan oleh Laut Selatan yang mencerminkan hubungan manusia
dengan manusia. Sedangkan Gunung Merapi melambangkan sisi horizontal yang
mencerminkan hubungan antara manusia dengan Yang Maha Kuasa.
Filosofi garis lurus imajiner
dari Merapi hingga Laut Selatan ini
sarat kearifan lokal. Damarjati menyarankan pemimpin di negeri ini harus peka
terhadap peristiwa letusan Merapi yang menewaskan sang juru kunci. Menurut
dia, magma dalam gunung Merapi itu tidak
boleh tersumbat untuk memuntahkan laharnya. Karena kalau tersumbat, dan
terlambat, maka akan mengakibatkan letusan yang luar biasa. "Seperti kalau
suara rakyat tersumbat, maka akan terjadi revolusi sosial.”
Selain dominasi yang dibalut
dengan apiknya kesultanan memiliki banyak falsafah hidup serta nilai-niali
luhur seperti halnya keraton di daerah
lain di Indonesia, adalah ibarat mata-air yang tak pernah kering bagi kehidupan
di sekitarnya. Namun di satu sisi, institusi kekuasaan dan kebudayaan yang
sarat dengan nilai-nilai luhur yang menjadi panutan masyarakat itu, kini
semakin terkikis modernisasi. seperti hubungan merapi-keraton dan laut selatan,
Ratu Kidul (kenyataan atau hanya sebuah legenda yang hidup dalam masyarakat
Yogyakarta), Malam 1 Suro dengan melarung bunga (sesaji) di pantai
parangkusumo, serat Centhini atau serat Centhini latin (yang melegenda dan agung) yang dimiliki oleh
kahazanah sastra keraton.
Keraton Yogyakarta Hadiningrat
dan masyarakatnya memiliki hubungan yang sangat erat, keraton sebagai pihak
yang dominan untuk membentuk sebuah budaya secara turun temurun dan dilakukan
oleh rakyat atau masyarakatnya memiliki sisi ketergantungan diantara keduanya.
seperti keterangan di atas masyarakat pada prinsipnya memiliki pola-pola
kehidupan yang ketat, yang selalu dijaga dalam komunitasnya serta bersifat
setagnan, akan tetapi masyarakat disisi lain bisa mengalami perubahan jika
bersentuhan dengan budaya khususnya dalam hal ini yang dibawa oleh keraton.
Keyakinan masyarakat atas
cerita yang melegenda dari kekuatan Parangkusumo dan Gunung Merapi, berbuah
pada kepercayaan yaitu jika berdoa di kedua tempat ini terutama Parangkusumo,
niscaya permintaan bakalan terkabul. Hal senada juga pernah diungkapkan
jauh-jauh waktu oleh Max Weber ahli (sosiologi masyarakat), ia mengatakan semua
jalan magis atau mistagogis pertama kali digunakan untuk sebagai sepirit demi
mengejar sesuatu yang ingin dicapai seperti ingin kaya, ingin pekerjaannya
langgeng, jodoh dan sampai ingin memiliki umur panjang.
Pergeseran ini menjadikan
fungsi ritual melebar (atau kesakralan tempat lambat laun tidak hanya menjadi
tempat pemujaan akan tetapi unsur ekonomi meliputinya pula). Ia tak terikat
erat lagi pada ritual sakral yang berbasis spiritual, politik, dan kekuasaan.
Tapi sebaliknya, ia jadi benda yang diperjualbelikan, dan terasing dari aura
ritual itu sendiri. Seperti yang telah terpaparkan dalam awal tulisan ini,
acara ritual di Parangkusumo telah kehilangan dimensi spiritualnya atau
terreduksi, Sebab, keheningan yang jadi inspirasi orang jawa (khususnya) dalam
semedi telah tercemari gelegak suara dangdut dari penjual vcd, teriakan penjual
obat, hingga lirikan genit para pekerja seks komersil (PSK). Namun, sifat
komoditas ini, tetaplah sama. Meminjam Marx, komoditas tetap mengandung
fetisisme, yaitu pemujaan nilai gaib dari suatu benda yang bersifat ekonomis
atau dalam bahasa Bryan, dalam memahami sosial agama atau keyakinan dalam
masyarakat agama atau keyakinan akan berubah sebagai perekat sosial dalam
bentuk persaingan ekonomi.
Itulah sekilas pandangan masyarakat daerah penulis yang
berkaitan tentang kerjasama penguasa gunung Merapi, Tugu pal putih, Keraton, Panggung
Krapyak dan penguasa Laut Selatan. Akan tetapi suara-suara gamelan yang berasal
dari Sungai Progo pada malam hari sudah tidak pernah terdengar beberapa tahun
terakhir. Entah apakah sudah ada yang berubah tentang kerjasama ketiga penguasa
itu. Akan tetapi masyarakat tetap masih ada yang mempercayai, bahwa bulan Syura
merupakan bulannya milik ketiga penguasa, sehingga masyarakat jarang yang
berani membuat hajatan pada bulan ini. Begitulah pandangan masyarakat sekitar.
DAFTAR PUSTAKA
Yogyakarta.panduanwisata.id/daerah-istimewa-yogyakarta/kota-yogyakarta/garis-lurus-merapi-tugu-kraton-dan-pantai-selatan/.
Diakses
pada 21 Desember 2016 pukul 15.55
M.news.viva.co.id/news/read/185790-antara-keraton-dan-merapi.
Diakses
pada 21 Desember 2016 pukul 16.00
Hartono-hartonogs.blogspot.co.id/2012/10/relasi-masyarakat-dan-keraton_16.html?m=1.
Diakses pada 21 Desember 2016 pukul 15.50
Http://cahpikiran.blogspot.co.id/2014/07/misteri-suara-gamelan-di-sungai-progo.html. Diakses
pada 21 November 2016 pukul 20.00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar