Jawa Hokokai
Tahun 1944, situasi Perang Asia Timur
Raya mulai berbalik, tentara Sekutu dapat mengalahkan tentara Jepang di
berbagai tempat. Hal ini menyebabkan kedudukan Jepang di Indonesia semakin
mengkhawatirkan. Oleh karena itu, Panglima Tentara ke-16, Jenderal Kumaikici
Harada membentuk organisasi baru yang diberi nama Jawa Hokokai (Himpunan
Kebaktian Jawa). Untuk menghadapi situasi perang tersebut, Jepang
membutuhkan persatuan dan semangat segenap rakyat baik lahir maupun batin.
Rakyat diharapkan memberikan darma baktinya terhadap pemerintah demi kemenangan
perang.
Kebaktian yang dimaksud memuat tiga
hal:
a.
mengorbankan diri,
b.
mempertebal persaudaraan,
dan
c.
melaksanakan suatu
tindakan dengan bukti.
Susunan dan kepemimpinan organisasi
Jawa Hokokai berbeda dengan Putera. Jawa Hokokai benar-benar organisasi resmi
pemerintah. Oleh karena itu, pimpinan pusat Jawa Hokokai sampai pimpinan
daerahnya langsung dipegang oleh orang Jepang. Pimpinan pusat dipegang oleh
Gunseikan, sedangkan penasihatnya adalah Ir. Sukarno dan Hasyim Asy’ari.
Di tingkat daerah (syu/shu) dipimpin oleh Syucokan/Shucokan dan
seterusnya sampai daerah ku (desa) oleh Kuco (kepala desa/lurah), bahkan
sampai gumi di bawah pimpinan Gumico.
Dengan demikian, Jawa Hokokai
memiliki alat organisasi sampai ke desa-desa, dukuh, bahkan sampai tingkat
rukun tetangga (Gumi atau Tonarigumi). Tonarigumi dibentuk untuk
mengorganisasikan seluruh penduduk dalam kelompok-kelompok yang terdiri atas
10-20 keluarga. Para kepala desa dan kepala dukuh serta ketua RT bertanggung
jawab atas kelompok masing-masing.
Adapun program-program kegiatan Jawa
Hokokai sebagai berikut:
1)
melaksanakan segala
tindakan dengan nyata dan ikhlas demi pemerintah Jepang
2)
memimpin rakyat untuk
mengembangkan tenaganya berdasarkan semangat persaudaraan, dan
3)
memperkokoh pembelaan
tanah air
Jawa Hokokai adalah organisasi pusat
yang anggota-anggotanya terdiri atas bermacam-macam hokokai (himpunan
kebaktian) sesuai dengan bidang profesinya. Misalnya Kyoiku Hokokai (kebaktian
para pendidik guru-guru) dan Isi Hokokai (wadah kebaktian para dokter). Jawa
Hokokai juga mempunyai anggota istimewa, seperti Fujinkai (organisasi wanita),
dan Keimin Bunka Shidosho (Pusat Kebudayaan). Di dalam membantu
memenangkan perang, Jawa Hokokai telah berusaha antara lain dengan pengerahan
tenaga dan memobilisasi potensi sosial ekonomi, misalnya dengan penarikan hasil
bumi sesuai dengan target yang di tentukan.
Organisasi Jawa Hokokai ini tidak
berkembang di luar Jawa, sehingga Golongan nasionalis di luar Jawa kurang
mendapatkan wadah. Penguasa di luar Jawa seperti di Sumatra berpendapat bahwa
di Sumatra terdapat banyak suku, bahasa, dan adat istiadat, sehingga sulit
dibentuk organisasi yang besar dan memusat, kalau ada hanya lokal di tingkat
daerah saja. Dengan demikian, organisasi Jawa Hokokai ini juga dapat berkembang
sesuai yang diinginkan Jepang.
Sumber: Sardiman, dan Amurwani Dwi
Lestariningsih. (2017). Sejarah Indonesia: SMA/MA/ SMK/MAK KELAS Semester
2 XI. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar